Judul buku ini diambil dari kalimat
anonymous : The
falling leaf doesn’t hate the wind, yang dipopulerkan dalam film
Jepang Zatoichi.
Buku ini saya pinjam dari seorang
teman baik. Judul buku ini sangat menggelitik, membuat orang bertanya-tanya “Bercerita
tentang apa sih nih buku?”. Hanya butuh 2 jam untuk menuntaskan buku ini. Berikut
kesan saya setelah membaca buku ini:
Seperti biasa Bang Darwis Tere Liye
ahlinya bercerita tentang perasaan, kali ini mengenai perasaan yang tak sempat
tersampaikan. Rasa yang sudah tertanam bertahun-tahun, tapi hanya terpendam dan
terus didiamkan. Setiap orang dalam hidupnya berhak untuk mencintai dan
dicintai. Dan perlu keberanian untuk mengungkapkan isi hati itu, entah apapun
hasilnya.
Setelah menghabiskan seluruh halaman
buku ini, banyak pertanyaan yang muncul.
Kenapa sih banyak orang yang takut
mengungkapkan perasaannya?
Kenapa sih orang slalu mengikuti jalan
hidup orang “normal”, memangnya salah apabila ada orang dewasa yang memiliki
hati kepada seseorang yang terpaut usia belasan tahun?
Pilih mana menikahi orang yang
mencintai kita atau menikahi orang yang kita cintai?
Tanpa disadari kita sering mendapati
hal seperti yang tersebut diatas terjadi disekeliling kita. Buku-buku Tere Liye
selalu mengajarkan pembaca akan suatu hal, walaupun tak tertulis biasanya setelah
membaca habis bukunya kita akan ter ooo..ooo… dibuatnya.
Terkadang
kita sering bermain dengan prasangka - prasangka yang kita ciptakan sendiri. Padahal
belum tentu prasangka itu benar. Prasangka-prasangka itu hanya akan membuat
hatimu semakin terbebat oleh asumsi, perasaan-perasaan, keinginan-keinginan,
mimpi-mimpi, dan akhirnya kau sama sekali tak tahu lagi mana simpul yang nyata,
dan mana yang tidak.
Di akhir buku ini, semua potongan cinta itu terjawab di bawah
pohon Linden mereka bertemu. Bahwa sebenarnya dia merasakan hal yang
sama dengan apa yang dirasakan Tania. Dia sama dengan Tania, tidak berani mengatakan,
mengungkapkan isi hatinya, dan terlanjur memutuskan cinta. Dia
menikahi Kak Ratna, yang sebenarnya tidak dicintainya. Saat itu usia tania dua
puluh dua, dia tiga puluh enam. Sekarang
Kak Ratna sudah hamil empat bulan, dan Tania harus kembali ke Singapura.
Dan bagaimanapun, daun
yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja.
Tak melawan, mengikhlaskan semuanya. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan
yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup
harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan,
pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih
dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin
merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.