Saturday, December 1, 2012

Buku bulan ini: Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Tere Liye


Judul buku ini diambil dari kalimat anonymous : The falling leaf doesn’t hate the wind, yang dipopulerkan dalam film Jepang Zatoichi.


Buku ini saya pinjam dari seorang teman baik. Judul buku ini sangat menggelitik, membuat orang bertanya-tanya “Bercerita tentang apa sih nih buku?”. Hanya butuh 2 jam untuk menuntaskan buku ini. Berikut kesan saya setelah membaca buku ini:

Seperti biasa Bang Darwis Tere Liye ahlinya bercerita tentang perasaan, kali ini mengenai perasaan yang tak sempat tersampaikan. Rasa yang sudah tertanam bertahun-tahun, tapi hanya terpendam dan terus didiamkan. Setiap orang dalam hidupnya berhak untuk mencintai dan dicintai. Dan perlu keberanian untuk mengungkapkan isi hati itu, entah apapun hasilnya.

Setelah menghabiskan seluruh halaman buku ini, banyak pertanyaan yang muncul. 

Kenapa sih banyak orang yang takut mengungkapkan perasaannya?

Kenapa sih orang slalu mengikuti jalan hidup orang “normal”, memangnya salah apabila ada orang dewasa yang memiliki hati kepada seseorang yang terpaut usia belasan tahun?

Pilih mana menikahi orang yang mencintai kita atau menikahi orang yang kita cintai?

Tanpa disadari kita sering mendapati hal seperti yang tersebut diatas terjadi disekeliling kita. Buku-buku Tere Liye selalu mengajarkan pembaca akan suatu hal, walaupun tak tertulis biasanya setelah membaca habis bukunya kita akan ter ooo..ooo… dibuatnya.

Terkadang kita sering bermain dengan prasangka - prasangka yang kita ciptakan sendiri. Padahal belum tentu prasangka itu benar. Prasangka-prasangka itu hanya akan membuat hatimu semakin terbebat oleh asumsi, perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, mimpi-mimpi, dan akhirnya kau sama sekali tak tahu lagi mana simpul yang nyata, dan mana yang tidak.

Di akhir buku ini, semua potongan cinta itu terjawab di bawah pohon Linden mereka bertemu. Bahwa sebenarnya dia merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan Tania. Dia sama dengan Tania, tidak berani mengatakan, mengungkapkan isi hatinya, dan terlanjur memutuskan cinta.  Dia menikahi Kak Ratna, yang sebenarnya tidak dicintainya. Saat itu usia tania dua puluh dua, dia tiga puluh enam. Sekarang Kak Ratna sudah hamil empat bulan, dan Tania harus kembali ke Singapura. 

Dan bagaimanapun, daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.

Wednesday, November 28, 2012

Kapan Merit?

Sepertinya pertanyaan diatas menjadi pertanyaan wajib yang diterima para jomblo ataupun lajangers seperti saya.. Memang sih pertanyaan itu yg paling enteng & paling tidak menguras otak untuk memulai pembicaraan selain ‘apa kabar’ tapi kok semua orang pertanyaannya sama ya ? Akhir2 ini pertanyaan itu seperti bumbu dalam masakan, seperti sudah menjadi suatu kewajiban. Klo ketemu temen lama yang ga menanyakan hal tersebut saya malah heran..wkwkwk

Kita tahu persis perbedaan yang amat signifikan antara benar2 bertanya karena sayang, atau bertanya karena iseng, sambil lalu, menggoda atau malah buat bahan tertawaan , tidak perlu pakai dijelaskan ke orang lain. Dalam situasi tertentu, bahkan pertanyaan yg super duper penuh kasih sayang tetap saja berimplikasi menyakiti saat yang ditanya memang sudah penat.

Ada yang menerima pertanyaan ini dengan santai, nyengir kuda sambil tertawa, "Belum ketemu jodohnya." atau "Makanya cariin dong.", Ada juga yang menerima pertanyaan ini sedikit formal, tersenyum tipis, mengangguk pelan, "Insya Allah akan indah pada waktunya” (jurus-jurus ini sudah tak pake semua…jiaah #tepok jidat)

Tetapi bagi sebagian orang pertanyaan itu sangat mengganggu, setelah menerima pertanyaan tersebut, setiba di rumah, langsung berurai air-mata. Tidak hanya marah, tapi mereka sedih. Tidak cukupkah pertanyaan itu? Banyak juga yang akhirnya jadi males sekali datang ke resepsi, acara keluarga, atau apa saja yang memiliki potensi munculnya pertanyaan itu dari tamu2 undangan lainnya.

Entah kenapa masyarakat kita sangat ‘perduli’ dengan kehidupan orang sekitarnya. Kalo kamu belom selesai kuliah ntar pertanyaannya “kapan lulus?”. Selesei kuliah, “kapan kerja?”. Dapat kerjaan ditanya “kapan merit?”. Setelah merit, “kapan punya anak?”. Abis punya anak, “kapan punya adeknya?” dan sebagainya dan sebagainya. Seolah-olah semua orang harus punya jalan hidup yg sama. Jadi apabila ada seseorang yang ga lulus-lulus, ga kerja, ga merit dan ga punya anak maka hidupnya ga normal…

Tapi satu hal , satu hal yang ga pernah ditanyakan sama orang2, “kapan nyusul?(sambil nunjuk lubang kubur)”

Hidup-mati, rejeki dan jodoh semua misteri Tuhan